Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Malam itu saya bersama tiga orang rekan sedang berada di angkutan kota (angkot) kawasan kota Bandung. Kami sedang menuju tempat konser yang berada di Bandung bagian atas. Dua dari tiga orang itu adalah teman akrab saya, sementara satu orang yang lain adalah temannya teman saya saat duduk di Sekolah Menengah Atas (SMA).

Temannya teman saya ini perawakannya cuek, kaos belel, punggung tangannya berhiaskan tato layaknya karya-karya komunitas daging tumbuh. Anda benar, ia memang anak seni rupa di salah satu institut terbaik negeri ini. Saya beberapa kali bertemu dengannya sebelum malam di angkot itu, biasanya dalam pergelaran konser. Sepertinya referensi musik kami hampir sama jadi sering bertemu secara tidak sengaja.
Di angkot itu ia bercerita sedang mencari pekerjaan. Ia mengatakan sempat wawancara di beberapa tempat. Terakhir adalah sebuah gerai besar yang menyediakan beragam clothing yang lumayan avant garde untuk ukuran saat ini. “Enggak tahu nih tapi masih rada bingung gw, mau pameran juga lagi,” kisahnya kala itu. Ia melanjutkan ceritanya dengan mengatakan akan pameran bersama beberapa rekannya di Salihara.
Setahu saya ia memang sering berpameran di beberapa tempat, saat saya masih berkuliah di Jogja dulu rekan saya beberapa kali mengajak mengunjungi pamerannya di beberapa galeri seni yang ada di kota gudeg. Nampaknya kini ia ingin mencapai tahap selanjutnya, Salihara, mungkin.
Sesampainya di venue konser ia bercerita bosan juga menganggur, “Bosen juga nih freelance-an doang, bangun tidur enggak jelas mau ngapain,” ujarnya yang kami timpali dengan derai tawa berjamaah.
***
“Dia kerja di TV xxx yang gajinya kecil tapi tinggal di apartemen mahal banget, kagak butuh duit kayanya doi,” buka teman saya. Saat itu saya sedang menanyakan kabar rekan saya yang lain. Saya hanya menimpali ucapan teman saya dengan mengatakan, “Oh…” menurut saya itu reaksi paling netral.
Rekan saya yang bercerita ini kemudian mengatakan mendingan menjadi freelance daripada dikooptasi industri dengan bayaran seadanya. “Seengaknya aku bisa ngatur keuanganku sendiri,” paparnya sedikit menggebu-gebu. Kali ini hanya anggukan kepala yang muncul dari saya, sekali lagi itu paling netral menurut saya.
Entah kenapa saya jadi ingat cerita Soleh Solihun dalam buku terbarunya. Ada insight menarik di salah satu bagian buku itu. Saat ia seperti mengomentari rekan kerjanya di majalah musik tempat pertama ia bekerja. Ia mengatakan banyak di antara mereka yang berasal dari keluarga berada dan sebenarnya tak masalah dengan imbalan yang kecil. Mungkin konsepnya seperti bekerja bukan sebagai bekerja, melainkan negasi atas pernyataan ia anak manja. Seperti sebuah pernyataan ya saya juga bekerja tidak hanya menengadah pada orang tua. Mungkin kasus tokoh di buku Soleh sama seperti kasus teman saya di TV xxx dengan apartemen mahalnya.
***
Belum lama ini saya punya tugas yang menurut saya menarik. Di tempat saya bekerja, saya seperti jadi bagian Human Resources Development (HRD) di awal-awal. Atasan saya meminta saya mencarikan beberapa orang untuk bergabung, maka pencarian pun saya lakukan. Tahap berikutnya tentu adalah wawancara si orang tersebut. Ada satu fakta menarik yang bisa saya ambil. Banyak dari mereka yang ketika ditanya menjawab “Masih freelance aja”.
Saya tak tahu sejak kapan terma freelance begitu sering diucapkan oleh kita. Freelance fotografer, freelance videografer, penulis freelance, dan banyak freelance bla bla bla lainnya. Saya tak pernah tahu sebatas mana koridor sesuatu atau seseorang yang cocok disandingkan dengan freelance. Ini istilah yang menurut saya menarik justru bukan karena relasi dengan pekerjaan melainkan relasinya dengan identitas yang hendak dibuat.
Kara Simsek punya ilustrasi menarik mengenai ini. Di bukunya “So You Think You’re Hipster?” ia menjelaskan karakter Graphic Designer melalui observasi yang unik. Ia menulis, “Are you working at the moment?” He’ll probably say no – after all, it’s a well-known fact that eight out of ten unemployed hipsters are graphic designers.” Simsek mungkin terlalu sinis. Tapi ia sebenarnya sedang ingin menggelitik kita, manusia generasi Y yang bingung merelasikan tanggungjawab dan pekerjaan.
Saya kembali mengingat teman saya yang mengutuk pekerjaan rekan lain di bank. Menurutnya ia kecewa dengan sesama rekan kami yang memilih bekerja di bank. “Kerja itu ya berkarya bukan cuma gitu-gitu aja,” kira-kira begitulah tipikal kritik yang dilontarkan. Mungkin dulu saya akan menganggukkan kepala agar netral, saya main aman sekali ya untuk kasus-kasus seperti ini.
Andai rekan saya itu melontarkan kritiknya kepada rekannya yang bekerja di bank, saat ini, mungkin saya tak akan sekadar menganggukkan kepala lagi. Buat saya mereka justru orang-orang yang paham merelasikan tanggungjawab dan identitasnya. Mereka yang jujur untuk tak menghindar. Mereka yang tak bersembunyi di balik terma paling rapuh ala generasi kita, “Masih freelance aja”.

Malam itu setelah selesai menonton konser, rekan saya yang berada di satu angkot membuka kartunya. Ia mengatakan sebenarnya ia akan mulai bekerja esok harinya. Ia melepaskan atribut kebebasannya. Saat mencari taksi untuk pulang ia menerima telepon dari ibunya, ia mengatakan akan segera pulang. Sepertinya ibunya mengingatkan besok ia akan mulai bekerja, mulai menghadapi hidup baru. Wajahnya tampak letih, beberapa bulir keringat muncul di keningnya, ia membasuhnya dengan punggung telapak tangan. Ketika pamit, sekilas saya melihat tatonya basah terkena keringat. 

Leave a comment